Selasa, 02 September 2008

Problem Pendanaan Sepak BOla Indonesia

Kompetisi Indonesia Super League (ISL) dan Divisi Utama Liga Indonesia (Ligina) baru saja berjalan. Tapi, klub-klub sudah menjerit. Mereka kelimpungan mengatasi problem pendanaan.

Bom waktu itu akhirnya meledak juga. Klub-klub sepak bola di Indonesia akhirnya kelimpungan membiayai operasional klub. Beberapa klub bahkan sudah tidak mampu membayar gaji para pemainnya selama tiga bulan terakhir.

Kondisi itu merupakan imbas belum siapnya klub sepak bola Indonesia untuk menghadapi era sepak bola profesional. Selama ini, klub terlalu dimanjakan dana yang berasal dari APBD. Begitu ada larangan penggunaan APBD, klub langsung kelimpungan.

Di Jawa Timur, ada sembilan klub yang berkompetisi di ISL dan Divisi Utama. Di ISL, ada Persik Kediri, Persela Lamongan, Deltras Sidoarjo, dan Arema Malang. Hanya Arema yang pembiayaannya murni berasal dari swasta.

Sedangkan di Divisi Utama, ada Persebaya Surabaya, Persema Malang, Gresik United (GU), Persibo Bojonegoro, dan Persekabpas Pasuruan. Di antara lima tim di Divisi Utama itu, hanya satu klub yang belum terdengar jeritannya, yakni Persebaya.

Empat klub lainnya sudah keteteran menjalani kompetisi. Padahal, ini baru awal musim. Baik bagi ISL maupun Divisi Utama. Jadi, kalau tidak segera ditemukan solusi, bisa jadi kompetisi bakal terhenti di tengah jalan.

Persik yang memulai musim dengan merekrut sederet bintang sepak bola ternama tanah air, seperti Mahyadi Panggabean, Hamka Hamzah, Budi Sudarsono, dan Markus Horison, sudah mulai bingung. Tentu, kehadiran pemain berlabel bintang itu diiringi dengan nilai kontrak yang tinggi.

Secara keseluruhan, tim berjuluk Macan Putih tersebut mengeluarkan dana Rp 15.498.000.000. Mereka sekaligus menjadi klub yang paling royal kedua dalam membelanjakan dana untuk pemain di ISL. Problemnya, sekarang manajemen klub justru kebingungan mencari dana untuk membayar gaji pemainnya.

Setali tiga uang dengan Persik, Deltras mengalami kendala serupa. Mereka memang mendapat alokasi dana Rp 15 miliar dari APBD, tapi tidak bisa dicairkan. Padahal, The Lobster (julukan Deltras) juga mengeluarkan dana yang cukup besar untuk pemain. Setidaknya, tim besutan Abdul Rahman Ibrahim itu mengeluarkan dana lebih dari Rp 7 miliar untuk membayar kontrak pemain.

"Kalau di Deltras itu, dana alokasi dari APBD sudah ada, tapi tidak bisa dicairkan karena terkendala Permendagri (No 59/2007, Red). Tapi, masalah ini dialami hampir semua klub di Indonesia, bukan hanya di Jatim," kata Ketua Pengda PSSI Jatim Haruna Soemitro kemarin (1/9).

Menurut Haruna, di antara klub-klub di ISL dan Divisi Utama, paling tidak hanya empat klub yang tidak diganggu masalah itu. Yakni, Arema, PKT Bontang, Pelita Jaya Jawa Barat, dan Semen Padang. Sebab, mereka adalah klub swasta.

Karena itu, sekarang harus segera dicari solusi yang tepat. Kalau tidak, perjalanan kompetisi bakal terancam. "PSSI dan BLI (Badan Liga Sepak Bola Indonesia, Red) harus responsif dengan kondisi ini. Harus segera dicari solusi," papar Haruna.

Pengda PSSI Jatim sendiri, menurut Haruna, menawarkan tiga pilihan solusi. Pertama adalah devaluasi nilai kontrak pemain. Sebab, selama ini nilai kontrak pemain sudah begitu tinggi tanpa ada pembatasan. Padahal, pemasukan tidak ada, kecuali dari APBD.

"Nilai kontrak pemain di Indonesia ini sudah sangat tinggi. Bandingkan dengan Malaysia atau Thailand. Di sana pemain digaji lebih rendah. Tapi, toh prestasinya sering kali lebih bagus dari Indonesia," terang Haruna.

Yang kedua, jendela transfer pemain harus segera dibuka tanpa harus menunggu putaran pertama selesai. Dengan begitu, bisa terjadi jual beli pemain. Jadi, klub seperti Persik bisa menjual beberapa pemain (bintang) dan mendapat dana segar.

Solusi terakhir adalah audit diberlakukan kepada seluruh klub. Kemudian, klub yang sudah tidak mampu mendanai operasionalnya harus mendapat dana talangan dari BLI. "Mau tidak mau. Sebab, kalau terus begini, bisa-bisa kompetisi mandek di tengah jalan dan semuanya rugi," lanjut Haruna.

Di sisi lain, meski mengalami kendala dana yang cukup akut, beberapa klub tetap bertekad untuk bertahan. "Kami akan lakukan segala cara dalam konteks tidak melanggar hukum untuk bisa menyelamatkan klub ini agar tetap berkompetisi," tutur Ali Mukhid, manajer GU.

Tidak berbeda dengan GU, manajemen Persekabpas punya beberapa kiat untuk bisa berhemat. Bahkan, untuk menjalani tur tandang ke Perseman Manokwari, tim berjuluk Laskar Sakera tersebut hanya memboyong 13 pemain.

Kemudian, ketika bertandang ke klub yang jaraknya tidak seberapa jauh, mereka melakukan perjalanan pulang pergi. "Kami terpaksa lakukan itu untuk berhemat. Kalau tidak berangkat, klub ini bisa dihukum BLI dan bisa degradasi," ucap Abubakar Assegaf, asisten manajer Persekabpas.

Ketika menjalani tur tandang ke Persebaya, untuk berhemat, rombongan Persekabpas memilih transit di Masjid Al Akbar, Surabaya. "Justru transit di masjid itu yang membuat mereka semakin bersemangat," lanjut Abubakar. [jawapos]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar