Rabu, 03 September 2008

KLub Terbelit Masalah Finansial,Kompetisi Terancam

Percobaan bunuh diri yang dilakukan bendahara Persik beberapa waktu lalu mengagetkan banyak pihak. Aksi itu dilakukan menyusul pemeriksaan yang bersangkutan oleh kejaksaan dalam kasus penggunaan anggaran politeknik untuk membiayai Persik. Dugaan adanya unsur korupsi di dalamnya mungkin sudah biasa karena maraknya pejabat yang tersangkut dugaan korupsi anggaran negara.

Tapi, di balik semua itu, kejadian tersebut mengungkap masalah serius klub yang ikut dalam kompetisi nasional, baik Superliga, Divisi Utama, maupun divisi di bawahnya. Kasus percobaan bunuh diri itu adalah puncak gunung es masalah finansial yang dialami klub-klub peserta kompetisi nasional, terutama yang didanai dari APBD.

Sebelumnya, beberapa klub Superliga dan Divisi Utama sudah angkat tangan, tidak mampu mengikuti kompetisi yang butuh biaya sangat besar itu. Meski tidak sampai mundur dari kompetisi, banyak klub yang mulai kesulitan dana.

Kesulitan itu tidak hanya dialami klub-klub kecil, tapi klub papan atas pun mengalami hal sama. Persik merupakan salah satu klub yang kini tengah didera masalah keuangan yang cukup serius. Begitu seriusnya masalah tersebut, sampai akhirnya kejaksaan turun tangan karena diduga ada unsur tindak pidana korupsi di dalamnya. Manajer Persik Iwan Budianto pasrah dengan kondisi yang dialami klubnya. Bahkan, bila perlu, pemain bintang dijual untuk membiayai klub.

Hal yang sama dialami Persija Jakarta. Selama ini, Persija dikenal sebagai klub yang royal karena mendapatkan dukungan APBD yang melimpah. Kini kondisinya berbalik 180 derajat. Persija yang tadinya merupakan klub elite yang kaya mulai kesulitan membayar gaji pemain dalam beberapa bulan ini. Sriwijaya FC yang tahun lalu meraih double winner, juara Liga dan Copa Indonesia, sudah tidak bisa mengobral uang seperti musim sebelumnya.

Logikanya, kalau klub yang mendapatkan dukungan dana melimpah saja kini kelabakan, bagaimana klub-klub kecil? Sebelum musim kompetisi 2008 digelar, sebenarnya sudah banyak klub yang memberikan sinyal tidak bisa ikut. Persiter Ternate dan Persmin Minahasa langsung lempar handuk. Klub-klub lain sebenarnya mengalami nasib sama, tapi mereka memaksakan diri ikut kompetisi dengan segala cara. Persibat Kabupaten Batang, Jawa Tengah, harus ikut kompetisi dengan sumbangan dari pemotongan gaji PNS di daerah itu.

Masalah muncul ketika Mendagri minta agar APBD untuk sepak bola ditinjau ulang. Boleh pakai APBD, tapi harus melalui KONI dan pembagiannya proporsional dengan cabang olahraga yang lain. Kalau sebelumnya dalam APBD anggaran bisa langsung diberikan kepada klub, sekarang itu harus melalui KONI. Pada 2007, masih diberi kelonggaran dengan cara hibah. Tapi, hibah itu hanya setahun, tahun berikutnya sudah tidak boleh lagi, harus melalui KONI. Mendagri membuat surat edaran mengenai masalah itu yang diberikan kepada-kepala daerah. Inilah yang membuat banyak klub kelabakan.

Kalau tidak ada perkembangan soal kebijakan Mendagri itu, kompetisi akan terancam karena sebagian besar klub tidak punya dana. Di antara sekian banyak peserta kompetisi, klub yang tidak dibiayai APBD bisa dihitung dengan jari. Sebut saja Arema Malang, PKT Bontang, dan Pelita Jaya. Selebihnya adalah klub yang didanai APBD. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana nasib klub-klub peserta kompetisi itu. Sekarang saja mereka sudah kesulitan membayar gaji pemain.

Gaji dan kontrak pemain merupakan pengeluaran terbesar klub peserta kompetisi. Kontrak pemain berkisar Rp 500 juta sampai Rp 1,5 miliar per tahun. Maka, tak heran kalau dana yang dibutuhkan untuk ikut kompetisi Rp 10 miliar-Rp 25 miliar. Pengeluaran tersebut dirasa tidak realistis dengan kondisi daerah yang memiliki PAD (pendapatan asli daerah) kecil.

Klub-klub yang didanai APBD -dan sering dianggap rezeki nomplok- berlomba-lomba membeli pemain mahal. Bahkan, klub-klub itulah yang mengakibatkan harga pemain di Indonesia mengalami kenaikan yang tidak wajar. Di kawasan ASEAN, gaji pemain (asing) di Indonesia merupakan yang tertinggi. Itu tidak sebanding dengan prestasi yang dicapai. Kini ketika dana APBD tersebut distop, mereka kelabakan.

Kalau sebagian besar klub tidak mampu melanjutkan kompetisi karena tidak punya dana, bagaimana kelanjutan kompetisi itu? Sebenarnya, bisa diambil solusi dengan mengadakan kompetisi yang lebih murah. Klub-klub harus realistis, tidak berlomba-lomba menaikkan penawaran pemain dengan harga tinggi. Klub tetap dibiayai APBD secara proporsional yang tentunya tidak sebesar sebelumnya.

Kalau semua klub bersatu, mereka akan memiliki nilai tawar yang tinggi dan para pemain akan menyesuaikan. Mereka harus tunduk dengan aturan klub soal gaji dan kontrak. Kalau itu bisa dilakukan, pengeluaran untuk pemain bisa ditekan dan klub tidak perlu mengeluarkan anggaran besar. Anggaran dari KONI -setelah dibagi dengan cabang olahraga lain- sudah cukup untuk membiayai klub. [jawapos]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar