Rabu, 09 Juli 2008

Liga super, "Emangnya gue pikirin?"

Liga Super, "Emangnya Gue Pikirin?"
Liga Super,
Hanya tinggal hitungan hari kompetisi perdana Djarum Liga Super Indonesia, yang dinilai dapat mengubah sejarah perjalanan sepak bola di Tanah Air, bergulir, tepatnya Sabtu, 12 Juli. Namun, bagai disambar petir di siang bolong mendadak diberitakan PSMS Medan, salah satu poros kekuatan sepak bola nasional, mengundurkan diri.

Alasannya sangat sederhana dan klasik. Persoalan dana dan ketidaksetujuan suporter bahwa PSMS bermain di luar Medan. Padahal, pengelola PSMS, Sihar Sitorus, yang mendapat mandat sebelum ini, berusaha membawa PSMS keluar dari krisis keuangan dan menggandeng timnya bermain di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, sebagai home ground selama kompetisi.

Terlepas dari konflik internal yang menjadi dasar pengunduran diri PSMS, langkah yang diambil ”Tim Ayam Kinantan” itu tidak saja merugikan masyarakat sepak bola Medan, tetapi juga pemain dan sepak bola nasional pada umumnya.

Kita masih ingat, tahun 1985 PSMS Medan, yang ketika itu masih berbendera amatir, begitu dicintai pendukungnya sehingga mereka rela membanjiri SUGBK guna mendukung Abdurahman Gurning dan kawan-kawan menghadapi Persib Bandung di final Perserikatan. Lebih dari 120.000 penonton membeludak di stadion, akhirnya menciptakan Guinness Book of Record sebagai pertandingan amatir di dunia yang menyita lebih dari 100.000 penonton.

Untuk itu, sangat naif kalau hanya karena alasan suporter tidak setuju PSMS main di luar Medan, lalu pengurus mengambil langkah untuk mundur dari kompetisi.

Kalau memang benar-benar mencintai sepak bola, sebaiknya para pengambil keputusan di PSMS berpikir lagi. Anda tidak hanya telah membunuh aspirasi dan semangat olahraga lewat fair play dan sportivitas, tetapi juga berapa banyak keluarga dan kepala yang ikut menderita. Seluruh pemain telah mengikat kontrak kerja selama satu musim. Kini mereka harus putus hubungan kerja dan hampir pasti bakal menganggur karena klub lainnya belum tentu akan mengontrak mereka.

Yang lain menyusul?

Secara makro, pokok persoalan utama dari langkah mundurnya PSMS adalah persyaratan yang diharuskan oleh Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI), yaitu antara lain, infrastruktur yang memenuhi syarat serta keuangan yang sehat. Persiter Ternate dan Persmin Minahasa menjadi korban pertama yang dieliminasi.

Untuk memenuhi kuota 18 tim yang diinginkan, PSIS Semarang dan PKT Bontang dipilih menggantikan Persiter dan Persmin. Untuk sementara, persoalan jumlah peserta Djarum Liga Super Indonesia teratasi. Yang menjadi pertanyaan, apakah dalam perjalanan kompetisi, tidak akan muncul persoalan berikut. Dan, siapa bisa menjamin semua klub dapat menyelesaikan kompetisi sesuai jadwal?

Sebelum PSMS menyatakan mundur, Persija Jakarta lebih dulu diguncang ancaman mundurnya beberapa pemain karena gaji bulan Juni dan uang muka 25 persen dari gaji semusim belum juga dibayar. Menjadi pertanyaan pula kalau Persija, yang dalam verifikasi mendapat nilai A untuk laporan keuangan, masih belum mempunyai dana untuk membayar gaji pemain, lalu bagaimana dengan klub yang laporan keuangannya mendapat nilai B atau C?

Persitara Jakarta Utara dan Persita Tangerang konon akan menjadi tim nomaden atau musafir yang setiap saat akan bertanding di stadion berbeda karena tidak mempunyai home ground yang tetap. Bisa dibayangkan, berapa besar kedua tim ini akan merogoh kantong selama satu kompetisi. Yang pasti, pengeluaran mereka lebih besar dibandingkan pemasukan. Ujung-ujungnya, bukan tidak mungkin, mereka akan kehabisan bensin di tengah jalan.

Jangan kaget pula, kalau nanti ada klub yang menyusul langkah PSMS. Ini akan lebih parah lagi karena mereka mundur di tengah jalan dan dampaknya otomatis merugikan klub lain. Bagaimana pula pertanggungan jawab moril BLI kepada sponsor, dalam hal ini Djarum yang merogoh Rp 35 miliar.

Ketidaktegasan BLI semakin diperparah lagi dengan belum adanya satu klub pun yang menaruh guarantee fee atau uang jaminan di bank sebesar Rp 5 miliar. Padahal, uang jaminan ini merupakan salah satu persyaratan untuk mengantisipasi krisis yang terjadi dengan sebuah klub di tengah jalan.

Dari mana uang untuk membayar sisa gaji pemain, atau kegiatan lain, kalau sampai ada klub mundur di tengah jalan. Boleh saja klub itu dihukum, mungkin terkena degradasi beberapa tingkat atau tidak boleh mengikuti kompetisi dalam beberapa tahun. Namun, masalah paling pokok adalah penyelesaian persoalan keuangan saat itu.

Kita berharap kompetisi liga super yang baru mulai berjalan ini benar-benar super dengan menghasilkan tontonan menarik serta menjadi suplai pemain berkualitas bagi tim nasional. Dan, bukan konflik manajemen, krisis keuangan klub, atau perkelahian di setiap pertandingan.

Jika sebaliknya, sebaiknya BLI telah mempunyai nama lain untuk kompetisi berikut. Mungkin lebih baik kalau digunakan nama kompetisi ”Super, Emangnya Gue Pikirin?” [kompas]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar