Rabu, 17 September 2008

Mencari Solusi atas Kritis Keuangan Klub Sepakbola Indonesia

Perjalanan kompetisi sepak bola nasional musim ini terancam berhenti sebelum berakhir. Banyak klub yang mulai berteriak tak kuat melanjutkan perjalanan. Apa solusinya?

NASI telah menjadi bubur. Kompetisi sudah di tengah jalan.

Entah itu Indonesia Super League (ISL) maupun Divisi Utama 2008/2009. Banyak klub sudah mengontrak pemain dengan tidak rasional.

Meski uang belum didapat, banyak klub tetap mengikat kontrak pemain dengan nilai tinggi. Kini masalah menghadang klub, utamanya klub-klub pelat merah.

Gaji pemain terlambat dibayar. Bahkan, ada yang belum dibayar. Tak sedikit pula yang berutang agar tetap bisa melakoni pertandingan. Pasalnya, dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang mereka harapkan tidak mengucur.

Eksistensi kompetisi musim ini pun ikut terancam. Nah, di tengah situsi seperti itu, saling menyalahkan tentu bukan sikap yang arif.

"Mundur di tengah kompetisi jelas bukan sikap yang sportif," kata Iwan Syafe'i, tokoh sepak bola asal Jawa Timur.

Demi kelangsungan kompetisi, solusi pun harus ditemukan. Jika tidak, kompetisi musim ini bisa jadi benar-benar berhenti sebelum berakhir. Lantas, apa solusi untuk keluar dari krisis tersebut?

Arif Budi Santoso menawarkan solusi. Manajer tim ISL PKT Bontang itu mengajak semua klub duduk bersama guna berpikir untuk merumuskan cara terbaik memangkas pengeluaran klub.

Sasaran utamanya adalah pos untuk pembiayaan kontrak pemain. Sebab, anggaran kontrak pemain merupakan pengeluaran terbesar klub.

"Agak repot memang. Sebab, semua sudah tertuang dalam kontrak. Mengubahnya jelas sulit," ujar Arif.

Namun, dia menilai perubahan itu masih bisa dijalankan. Tentunya, ada beberapa syarat. Pertama, ada kesepakatan semua klub. Kedua, klub harus komitmen menjalankannya. Ketiga, tentu tidak terlalu merugikan pemain.

Artinya, kepentingan klub dan hak pemain tidak timpang. "Jika semua klub bersuara sama, saya pikir pemain pasti mengikutinya. Namun, itu juga harus diperkuat dengan regulasi dari PSSI dan BLI," urainya.

Solusi lain disodorkan Iwan. Manajer Bentoel Galatama di era 1980-an itu berpendapat bahwa prestasi adalah jawaban untuk keluar dari krisis. Dengan prestasi, klub bisa menjual diri, baik kepada sponsor maupun penonton. Jika klub selalu tampil apik, penonton pasti akan membanjiri stadion.

Dengan begitu, sponsor pun bakal tertarik masuk ke klub. Kucuran APBD pun tak lagi diperlukan. "Tapi, kondisi itu harus diimbangi dengan manajemen yang baik. Jika dikelola dengan baik, sumber tersebut bisa diandalkan untuk menghidupi klub," papar Iwan.

Jika tetap berharap kepada APBD, Manajer Persela Lamongan Masfuk menawarkan solusinya. Ketua Umum Persela Lamongan tersebut mengungkapkan, klub harus berani transparan dalam penggunaannya. Klub harus berani mengikuti aturan yang ada. Juga, harus berani menegakkan aturan. "Kalau niatnya bagus, kenapa harus takut," ujarnya.

Ketakutan menggunakan dana APBD, menurut dia, tidak beralasan. Sebab, tidak ada larangan khusus untuk menggunakannya. Yang ada hanyalah aturan dalam menggunakannya. Menurut Masfuk, setiap klub harus jeli membaca dan menerapkan aturan itu. Jika ada ketakutan menggunakannya, justru hal itu menimbulkan pertanyaan.

Masfuk menyebutnya pasti ada situasi yang tidak kondusif. Terutama menyangkut hubungan eksekutif, legislatif, dan masyarakat. Untuk itu, pria yang juga bupati Lamongan tersebut menyarankan agar pengurus klub harus menciptakan situasi yang kondusif di daerahnya.

Dengan begitu, klub akhirnya tetap bisa menggunakan dana APBD. "Klub sepak bola adalah sarana promosi dan memasarkan daerah," tegasnya. [jawapos]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar