Di antara 25 pemain muda timnas U-16, ada satu yang berasal dari Kartasura, Sukoharjo. Burhanudin Bayu Saputra namanya. Bocah itu menjadi wakil eks Karesidenan Surakarta yang lolos ke Uruguay. Setelah menimba ilmu sebelas bulan di Uruguay, Bayu pulang ke rumahnya di Ngadirejo, Kartasura, Sukoharjo.
''Dua sampai tiga hari setelah di sana (Uruguay), saya dan teman-teman masih sulit mencari makanan yang cocok. Kami terpaksa tidak makan dalam jangka waktu itu. Untuk menjaga kondisi, kami hanya minum susu,'' ujar Bayu mengawali pembicaraan dengan Radar Solo (Jawa Pos Group) yang bertandang ke rumahnya kemarin (11/12).
Hilangnya selera makan tersebut langsung berimbas pada permainan di lapangan. Mereka kurang memiliki tenaga untuk berlatih sesuai dengan instruksi pelatih. Kondisi itu diperparah dengan cuaca yang tak bersahabat.
Beruntung, duet pelatih timnas asal Uruguay Carlos Molinari Martiner dan Cesar Payavich Perez memberikan keringanan. Mereka memberi pemain waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan di Uruguay. Mulai menu makanan, cuaca, lapangan, hingga teknik latihan.
Untuk program dan materi latihan, menurut Bayu, tak terlalu banyak perbedaannya dengan yang mereka terima di tanah air. Hanya, yang lebih menonjol adalah faktor kedisiplinan di lapangan. "Setiap kegiatan selalu terprogram. Bahkan, tiap detik latihan pemain diberi tanggung jawab untuk memenuhi apa yang ditargetkan pelatih," beber Bayu.
Selain mengadakan training center di Uruguay, tim tersebut mengikuti kompetisi liga remaja di sana. Dari dua kali putaran, timnas U-16 menduduki posisi papan bawah. Di antara 24 kontestan, timnas hanya mampu nangkring di posisi ke-19. Kondisi tak jauh beda dialami saat putaran kedua. ''Lapangan yang digunakan untuk kompetisi buruk. Beda saat latihan. Jadi, permainan kami tidak berkembang,'' dalihnya.
Di luar kompetisi, Bayu selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk berkomunikasi dengan keluarga. Telepon menjadi satu-satunya cara untuk bisa dekat dengan keluarga. Sayang, perbedaan waktu antara Uruguay dan Indonesia yang cukup ekstrem (hampir terpaut 12 jam) membuat komunikasi dengan keluarga sering terkendala. ''Kadang saat saya selesai latihan dan ingin telepon ke rumah, bapak-ibu baru sibuk kerja. Begitu juga sebaliknya. Jadi, harus pandai-pandai pilih waktu,'' terang Bayu.
Selama mengenyam pendidikan di Uruguay, Bayu dkk tak melulu dijejali ilmu sepak bola. Mereka juga diberi bekal pengetahuan lain. Mulai kursus bahasa Spanyol, mengenal beberapa tempat di Uruguay, hingga urusan ibadah.
Khusus hal terakhir, Bayu dkk terpaksa menempuh jarak jauh untuk bisa melakukan salat Jumat. Para pemain timnas terpaksa harus boyongan ke Kedubes Mesir di Montevideo hanya untuk Jumatan. Sebab, di sanalah ada satu-satunya tempat di Uruguay yang mengadakan salat Jumat. Mengenai kursus bahasa Spanyol, Bayu menyebut diberikan sebagai bekal komunikasi. Sebab, bahasa itu menjadi bahasa utama di Uruguay, selain bahasa Inggris.
Saat berlibur di kampung halaman, para pemain masih diberi tanggung jawab untuk berlatih. ''Pelatih memberikan program latihan yang wajib dilakukan pemain di sini. Latihan ini ditujukan untuk menjaga kemampuan serta rasa tanggung jawab,'' papar dia.
Program latihan itulah yang akan dilakukan setiap hari dalam tiga bulan ke depan. Sebab, anak pertama pasangan Senen dan Sri Suyamti tersebut menyatakan terinspirasi dengan tim lawan di Uruguay. Dua di antara para pemain tim lawan yang menjadi teman berlatih dan bertanding kini sudah berseragam klub besar Eropa. Untuk musim depan, mereka resmi dikontrak Chelsea dan Real Madrid. ''Pengin juga main di luar negeri. Tapi, saya lebih senang main di Indonesia, seperti di Pelita Jaya dan Sriwijaya FC,'' pungkasnya. [jawapos]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar